Hospes
dan nama Penyakit
Manusia merupakan
hospes dari kedua spesies parasit ini. Hospes reservoar T.rhodesiense adalah
binatang liar seperti antilop dan hospes resrevoar T.gambiense adalah binatang
peliharaan seperti babi, sapi, kambing, dan sebagainya. Lalat Glossina berperan
sebagai hospes perantara. Penyakitnya disebut tripanosomiasis afrika atau sleeping
sickness.
Ciri-ciri
Trypanosoma Gambiense
Bentuk vegetative memiliki karakteristik sebagai berikut
:
- ukuran
14 mikron,
- bentuk
seperti buah peer,
- Anterior
- posterior meruncing,
- punya
4 pasang flagel aksostil, sedangkan
- Bentuk
kista memiliki karakteristik sebagai berikut :
- ukuran
10- 14 mikron,
bentuk
oval, terdiri dari 2-4 inti sel,
- kista
infektif inti 4,
- dinding
tipis & kuat.
Klasifikasi
Trypanosoma gambiense
Kingdom : Protista
Subkingdom : Protozoa
Phylum : Sarcomastigophora
Subphylum : Mastigophora
Class : Zoomastigophora
Order : Kinetplastida
Family : Trypanosomatidae
Section : Salivaria
genus : Trypanosoma
Species : Brucei
Subspecies : gambiense , rhodesiens
Penyebaran
/ Distribusi geografi
Spesies ini ditemukan di daerah Afrika tropik, yaitu
antara garis lintang 15° dan garis lintang selatan 18° ( Fly belt ). T.gambiense
di bagaian Afrika tengah dan Barat.
Habitat
trypanosoma gambiense
Habitat trypanosoma gambiense berada di Afrika, antara
kelima belas paralel utara dan selatan. Habitat yang disukai adalah
vegetasi di sepanjang sengai, danau, hutan tepi, dan hutan galeri yang
memanjang sampai wilayah scrub.
Morfologi
Bentuk Tripomastigot
(Trypanosome form)
Bentuk memanjang dan
melengkung langsing,
inti di tengah
Inti di tengah besar
berbentuk lonjong, terletak di tengah dan berfungsi untuk menyediakan makanan.
Disebut juga Troponukleus
kinetoplas dekat ujung
posterior
kinetoplas, berbentuk
bulat atau batang. Ukuran lebih kecil dari inti dan terletak di depan atau di
belakang inti. Kinetoplas terdiri dari 2 bagian yaitu benda parabasal dan
blefaroplas
Flagela membentuk dua
sampai empat kurva membran bergelombang,
Flagela merupakan
cambuk halus yang keluar dari blefaroplas dan berfungsi untuk bergerak. Undulating
membrane (membran bergelombang), adalah selaput yang terjadi karena flagela
melingkari badan parasit, sehingga terbentuk kurva-kurva. Terdapat 3-4
gelombang membran
ukurannya 20-30 mikron
Siklus
Hidup
Pada waktu darah
mamalia dihisap, oleh lalat tse tse yang infektif
(genus Glossina) maka akan memasukkan metacyclic
trypomastigotes kedalam jaringan kulit. Parasit–parasit akan masuk ke
dalam sistem lymphatic dan ke dalam aliran darah
Di dalam tubuh tuan
rumah, mereka berubah menjadi trypomastigotes di dalam aliran darah.
Dan ini akan dibawa ke
sisi lain melalui tubuh, cairan darah kaya yang lain dan berlanjut bertambah
banyak dengan binary fission
Segala siklus hidup
dari African Trypanosomes telah ditampilkan pada tingkat ektra seluler. Lalat
tsetse menjadi infektif dengan trypomastigotes dalam aliran darah ketika
mengisap darah mamalia yang terinfeksi
Pada alat penghisap lalat parasit berubah
menjadi procyclic trypomastigotes, bertambah banyak dengan binary fission
Binary fission meninggalkan
alat penghisap, dan berubah menjadi epimastigotes,
Air liur lalat kaya
akan epimastigotes dan pertambahan banyak berlanjut dengan binary fission
Siklus dalam tubuh
lalat berlangsung selama kurang lebih 3 minggu. Manusia merupakan reservoir
utama untuk Trypanosoma gambiense, tetapi spesies in dapat selalu
ditemukan pada binatang.
Mekanisme
Tranmisi
Lalat tsetse (jantan dan betina), bertindak sebagai
vektor pambawa parasit ini, terutama spesies Glossina palpalis. Lalat ini
banyak terdapat di sepanjang tepi-tepi sungai yang mengalir di bagian barat dan
tengah Afrika. Lalat ini mempunyai jangkauan terbang sampai mencapai 3 mil.
Sumber
Infeksi
Penyakit
ini disebabkan oleh segolongan oleh jasad-jasad yang berbangun ulir panjang,
yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop, tetapi jauh lebih besar dari pada
sel darah merah. Jasad-jasad itu dipindahkan oleh lalat tse-tse, yang kena
tular setelah lewat waktu delapan belas sampai tiga puluh empat hari setelah
makan darah dari manusia yang sedang sakit itu, atau dari binatang. Banyak
jenis-jenis binatang liar atau ternak yang dapat memelihara jasad-jasad itu di
dalam tubuhnya yang tidak membahayakan bagi tubuhnya sendiri.
Patologi
dan Gejala Klinis
Gejala dan tanda
penyakit ini dapat bervariasi dan umumnya dibagi atas 3 fase :
1. Fase awal (Initial
stage)
Ditandai dengan
timbulnya reaksi inflamasi lokal pada daerah gigitan lalat tsetse. Reaksi
inflamasi dapat berkembang menjadi bentuk ulkus atau parut ( primary chancre).
Reaksi inflamasi ini biasanya mereda dalam waktu 1-2 minggu.
2. Fase penyebaran (Haemoflagellates
stage)
Setelah fase awal
mereda, parasit masuk ke dalam darah dan kelenjar getah bening (parasitemia).
Gejala klinis yang sering muncul adalah demam yang tidak teratur, sakit kepala,
nyeri pada otot dan persendian. Tanda klinis yang sering muncul antara lain :
Lymphadenopati, lymphadenitis yang terjadi pada bagian posterior kelenjar
cervical (Winterbotton’s sign), papula dan rash pada kulit.
Pada fase ini juga
terjadi proses infiltrasi perivascular oleh sel-sel endotel, sel limfoid dan
sel plasma, hingga dapat menyebabkan terjadinya pelunakan jaringan iskemik dan
perdarahan di bawah kulit (ptechial haemorhagic). Parasitemia yang berat
(toksemia) dapat mengakibatkan kematian pada penderita.
3. Fase kronik
(Meningoencephalitic stage)
Pada fase ini terjadi
invasi parasit ke dalam susunan saraf pusat dan mengakibatkan terjadinya
meningoenchepalitis difusa dan meningomyelitis.
Demam dan sakit kepala
menjadi lebih nyata. Terjadi gangguan pola tidur , insomnia pada malam hari dan
mengantuk pada siang hari. Gangguan ekstrapiramidal dan keseimbangan otak kecil
menjadi nyata. Pada kondisi yang lain dijumpai juga perubahan mental yang
sangat nyata. Gangguan gizi umumnya terjadi dan diikuti dengan infeksi sekunder
oleh karena immunosupresi. Jumlah lekosit normal atau sedikit meningkat. Bila
tercapai stadium tidur terakhir, penderita sukar dibangunkan. Kematian dapat
terjadi oleh karena penyakit itu sendiri atau diperberat oleh penyakit lain
seperti malaria, disentri, pneumonia atau juga kelemahan tubuh
Diagnosis
Diagnosis dapat dilakukan dengan cara :
1. Mengetahui riwayat
tempat tinggal dan riwayat bepergian ke daerah endemik.
2. Menemukan tanda dan
gejala klinis :
• Demam yang bersifat
periodik
• Dijumpai reaksi
inflamasi lokal (primary chancre) pada tempat inokulasi, rash pada kulit,
lympadenopati pada bagian cervical posterior (Winterbotton’s sign)
• Gangguan neurologis,
terutama pola tidur (diurnal somnolence, nocturnal insomnia), gangguan status
mental, gangguan keseimbangan otak kecil, gangguan ekstrapiramidal.
3. Menemukan parasit
pada pemeriksaan :
• Darah tepi dengan
pewarnaan.
• Biopsi aspirasi pada
‘primary chancre’
• Cairan cerebrospinal
4. Pemeriksaan Serologi
• ELISA
• Immunofluorescent
indirek
Pencegahan
Pencegahan penyakit ini
meliputi :
1. Mengurangi sumber
infeksi
Pengurangan sumber
infeksi dapat dilakukan dengan cara melakukan pengobatan secara tuntas pada
penderita, bahkan memusnahkan hewan vertebrata yang terinfeksi
2. Melindungi manusia
terhadap infeksi
Kontak terhadap vektor dapat dihindari dengan menjauhi
habitat vektor, memakai pelindung kepala dan tubuh, menggunakan kelambu serta
memakai reppellent.
Mengendalikan vektor
Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan mengurangi
tempat hidup dan perindukan vektor. Pengendalian juga dapat dilakukan dengan
menggunakan insektisida untuk mengurangi jumlah lalat dewasa.
Pengobatan
Pengobatan dapat bervariasi dan biasanya berhasil bila
dimulai pada permulaan penyakit. Bila susunan saraf pusat telah terlibat,
biasanya pengobatan kurang baik hasilnya. Obat-obat yang sering digunakan
antara lain :
1. Eflornithine dengan dosis 400 mg/kg/hari
IM atau IV dalam 4 dosis bagi, selama 14hari
dan dilanjutkan dengan pemberian oral 300 mg/kg/hari sampai 30 hari.
2. Suramin dengan dosis
1 gr IV pada hari ke 1,3,7,14,21 dimulai dengan 200 mg untuk test secara IV.
Dosis diharapkan memcapai 10 gram. Obat ini tidak menembus blood-brain barrier dan
bersifat toksis pada ginjal.
3. Pentamadine, dengan dosis 4
mg/kg/hari/hari IM selama 10 hari.
4. Melarsoprol, dengan
dosis 20 mg/kg IV dengan pemberian pada hari ke 1,2,3,10,11,12,19,20,21 dan dosis perharinya tidak lebih dari 180
mg. Enchephalopati dapat muncul sebagai
efek pemberian obat ini . Hai ini terjadi oleh karena efek langsung dari arsenical (kandungan dari
melarsoprol) dan juga oleh karena reaksi penghancuran
dari Trypanosma (reactive enchepalopathy). Bila efek tersebut muncul,pengobatan harus dihentikan.
salam f kecil